Dikabarkan bahwa harga minyak naik selama dua pekan berturut-turut. Penguatan tersebut tak lepas dari rencana Rusia memangkas produksi minyak mentah sebagai respons atas pembatasan harga yang diterapkan G7 terhadap ekspor minyak Negeri Beruang Merah. Kelompok Tujuh (G7, Uni Eropa dan Australia mulai memberlakukan batasan harga pada minyak mentah lintas laut Rusia pada awal Desember lalu.
Dalam skema itu, negara peserta melarang layanan yang memungkinkan harga dari minyak Rusia dikirim melalui laut apabila harga naik di atas US$60 per barel, seperti asuransi dan keuangan. Dikutip Reuters, harga minyak berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Februari menguat US$2,07 atau 2,7 persen ke US$79,56 per barel pada penutupan perdagangan Jumat (23/12), waktu AS.
Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah acuan Brent untuk pengiriman Februari sebesar US$2,94 dolar AS atau 3,63 persen menjadi US$83,92 per barel di London ICE Futures Exchange. Analis Pasar FX Empire Vladimir Zernov menilai harga dari minyak WTI tengah mencoba untuk menetap di atas US$80 dolar AS per barel karena pedagang bereaksi terhadap berita terbaru dari Rusia.
Sejumlah media melaporkan Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak mengungkap Rusia bisa memangkas produksi minyak mentahnya sebesar 5-7 persen pada awal 2023. “Potensi pemotongan dari Rusia bisa memberi dorongan lebih banyak,” kata Ahli Strategi Pasar Senior RJO Futures Eli Tesfaye.
Tesfaye menilai apabila permintaan global berlanjut pada kecepatan saat ini, pemotongan itu dapat berdampak signifikan dan membuat harga minyak mentah tetap berada di kisaran US$80-an per barel. Sementara itu, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+) telah mengurangi produksi sebesar 2 juta barel per hari mulai November 2022.