Pada Selasa (5/9) sore, mata uang rupiah berada pada level nilai tukar Rp15.270 per dolar AS, mengalami pelemahan sebesar 30 poin atau 0,2 persen dari sesi perdagangan sebelumnya. Di sisi lain, kurs referensi Bank Indonesia (BI), Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), menempatkan rupiah pada posisi Rp15.260 per dolar AS. Pada hari yang sama, mata uang di berbagai negara Asia juga mengalami pelemahan serupa. Yen Jepang melemah 0,31 persen, baht Thailand melemah 0,62 persen, peso Filipina melemah 0,43 persen, won Korea Selatan melemah 0,87 persen, dan yuan China melemah 0,37 persen.
Tidak hanya di Asia, mayoritas mata uang utama dunia juga berada dalam zona merah. Euro Eropa melemah 0,38 persen, poundsterling Inggris melemah 0,57 persen, dan franc Swiss melemah 0,35 persen. Dolar Australia dan dolar Kanada juga mengalami pelemahan, masing-masing sebesar 1,33 persen dan 0,51 persen.
Menurut analis pasar, Lukman Leong, pelemahan rupiah ini sejalan dengan pelemahan sejumlah mata uang lainnya, dan salah satu faktor pemicunya adalah data PMI Manufaktur China yang lebih lemah dari perkiraan. Hal ini memberikan kekhawatiran kepada investor bahwa kebijakan stimulus yang sebelumnya direncanakan oleh pemerintah China mungkin akan gagal.
Selain itu, dolar AS terus menguat karena investor mengantisipasi bahwa pejabat-pejabat the Fed (Federal Reserve) akan tetap mempertahankan kebijakan yang cenderung hawkish (cenderung ketat). Kondisi ini juga menjadi salah satu faktor yang berkontribusi pada pelemahan mata uang rupiah. Dalam konteks pasar mata uang global yang selalu berfluktuasi, pemahaman tentang faktor-faktor fundamental seperti data ekonomi dan kebijakan bank sentral sangat penting bagi para pelaku pasar untuk membuat keputusan yang tepat dalam berinvestasi dan perdagangan valuta asing.