BPS: Kebijakan Hilirisasi Nikel Dorong Reindustrialisasi dan Pertumbuhan Ekspor?

Badan Pusat Statistik (BPS) menyoroti fenomena reindustrialisasi di Indonesia yang mulai terjadi berkat kebijakan hilirisasi nikel. Menurut Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti kebijakan ini telah membawa dampak positif terhadap pertumbuhan ekspor produk turunan nikel, terutama dalam sektor industri logam dasar.

Pertumbuhan signifikan dalam industri logam dasar tercatat sejak tahun 2021, bahkan mencapai pertumbuhan dua digit. Data BPS mengungkap bahwa ekspor bijih nikel telah mengalami penurunan sejak Presiden Jokowi (Joko Widodo) melarang ekspor bijih nikel pada tahun 2020. Namun, ekspor produk turunan nikel justru mengalami peningkatan setiap tahunnya. Apakah hilirisasi nikel kebijakan yang tepat?

Salah satu contoh adalah ekspor feronikel, yang mengalami peningkatan drastis dari US$4,73 miliar pada 2020 menjadi US$7,08 miliar pada 2021, dan bahkan mencapai US$13,62 miliar pada tahun lalu. Demikian pula, nilai ekspor komoditas nikel dan barang turunannya juga mengalami kenaikan yang signifikan, mencapai US$5,94 miliar pada tahun 2022 dari hanya US$808 juta pada 2020.

Data BPS juga mencatat bahwa industri logam dasar tumbuh sebesar 13,42 persen secara kumulatif pada semester pertama tahun 2023, didorong oleh peningkatan permintaan ekspor komoditas baja dan feronikel. Industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik juga mengalami pertumbuhan sebesar 15,02 persen dalam periode yang sama, seiring dengan realisasi investasi barang logam yang signifikan.

Meski begitu, beberapa ekonom mempertanyakan sejauh mana manfaat dari hilirisasi nikel ini. Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri menunjukkan bahwa sebagian besar keuntungan dari hilirisasi nikel ternyata masuk ke China. Ia mengungkapkan bahwa sekitar 90 persen keuntungan tersebut mengalir ke China, sementara Indonesia memiliki keterbatasan dalam memanfaatkan hasil ekspor tersebut.

Faisal Basri juga menyoroti fakta bahwa sejumlah perusahaan smelter pengolah bijih nikel dimiliki oleh China. Kondisi ini memberikan China keleluasaan untuk mengontrol hasil ekspor dan mengalihkannya ke luar negeri atau negeri sendiri. Meskipun terdapat ekspor yang tercatat, sebagian besar hasil ekspor nikel tidak sepenuhnya memberikan manfaat kepada Indonesia.

Di sisi lain, Faisal Basri menyebut bahwa beberapa perusahaan smelter nikel juga menikmati insentif pajak, seperti tax holiday selama 20 tahun atau lebih. Hal ini memberikan keuntungan lebih bagi perusahaan-perusahaan tersebut dan memengaruhi pengaliran keuntungan ekspor nikel secara keseluruhan. Pemerintah berkomitmen untuk memantau dampak reindustrialisasi dan hilirisasi nikel terhadap ekonomi Indonesia serta memastikan bahwa manfaat ekonomi dari kebijakan ini dapat lebih merata bagi negara dan masyarakat Indonesia.