Revolusi industri 4.0 memberikan dampak positif dan negatif, apa dampaknya bagi perekonomian Indonesia?
Di berbagai seminar yang diadakan di kampus-kampus maupun ruang-ruang lainnya, akhir-akhir ini semarak dengan Revolusi Industri 4.0. Revolusi Industri 4.0 pada dasarnya memanfaatkan perkembangan teknologi dalam proses produksi. Revolusi Industri 4.0 yang nampak utopis tersebut, lantas apakah benar demikian? Bagaimana dampak revolusi industri 4.0 bagi perekonomian?
Dampak Revolusi Industri 4.0, Positif atau Negatif?
Perkembangan era digital dewasa ini membuat adanya pergeseran paradigma perekonomian global. Revolusi Industri 4.0, sama halnya dengan revolusi industri sebelumnya, terdapat dampak positif dan negatif. Bagi masyarakat, perubahan tersebut membutuhkan (mengharuskan) kemampuan literasi untuk menyerap informasi dalam waktu cepat.
Memang bagi negara maju yang memiliki tingkat literasi tinggi, adanya revolusi industri akan membantu pengolahan ide dan pemikiran melalui teknologi seperti ponsel atau sistem informatika. Namun bagi Indonesia? Meskipun Indonesia adalah negara dengan pengguna sosial media terbesar di dunia, namun sangat sedikit pengguna yang memanfaatkan untuk bisnis.
Padahal berdasarkan prediksi World Economic Forum dalam kurun waktu 4 tahun ke depan, sebanyak 75 juta pekerjaan yang ada akan berubah dan setidaknya akan ada 133 juta pekerjaan baru muncul yang merupakan hasil perkembangan teknologi.
Indonesia hingga saat ini sudah merasakan dampaknya dari perubahan tersebut, yaitu adanya peralihan dari sektor agratis ke arah pekerjaan pada bidang layanan jasa. Pergeseran paradigma ekonomi tersebut tentunya akan memunculkan karier baru di dalam sektor industri. Memang terkesan berdampak baik, namun tidak disadari jika akan banyak orang yang kehilangan pekerjaannya lantaran tidak memiliki keterampilan yang diperlukan.
Untuk memahami hal tersebut, logika sederhananya adalah ketika terdapat teknologi baru diterapkan, maka produktivitas (oleh teknologi) akan menurunkan biaya produksi, dan harga barang dan jasa menjadi turun. Hal tersebut akan meningkatkan daya beli, lantas dapat menciptakan lapangan kerja baru.
Sektor pekerjaan yang kemudian akan berkembang di kawasan agraris (wilayah Asia Tenggara) adalah sektor ritel dan grosir, manufaktur, konstruksi, dan juga transportasi. Sektor-sektor tersebut juga akan mengembangkan berbagai sektor lain (yang masih minim) seperti teknologi informasi, keuangan, dan seni.
Namun jika disadari, pertanian di Asia Tenggara telah menyumbang sekitar 76 juta pekerjaan, dengan sepertiganya merupakan buruh. Sepertiga pekerja tersebut adalah yang rentan terhadap perubahan teknologi, lantaran pekerjaan rutinnya adalah kerja fisik.
Indonesia yang masyarakatnya masih bergerak di sektor agraris tradisional, tentu akan terdisrupsi oleh teknologi pertanian, yang tidak menampik akan muncul dalam beberapa waktu ke depan. Tidak hanya buruh, namun para petani yang notabenenya masih mengandalkan pertanian tradisional berpotensi rendah untuk dapat bersaing ke depannya.
[artikel number=3 tag=”Bisnis, revolusi-industri-4.0, industri”]
Salah satu negara di ASEAN yang paling siap dengan perubahan arus pekerjaan adalah Singapura, yang merupakan negara tidak bergerak di sektor agraris dan masyarakat dengan literasi tinggi.
Hingga saat ini sosialisasi berkaitan dengan Revolusi Industri 4.0, hanya baru jalan di tempat di ruang-ruang akademisi dan seminar-seminar, tanpa adanya gerakan-gerakan edukasi langsung ke hingga bawah.
Mungkin akan sedikit berlebihan jika penulis menaruh ketakutan jika ke depannya banyak pekerja-pekerja (nonskill) di Indonesia yang akan tergantikan dengan mesin, karena teknologi hanya akan dimiliki oleh segelintir orang saja. Sebaiknya untuk ke depannya yang harus diperhatikan adalah dampak dari Revolusi Industri 4.0 dan aksinya, bukan hanya pada tahapan pengenalan dan sosialisasi saja.