PPDB Zonasi, Keinginan Orang Tua Murid dan Pemerintah yang Berbeda

Penerimaan Peserta Didi Baru atau PPDB Zonasi menjadi kontroversial.

PPDB Zonasi yang baru-baru ini diterapkan di Indonesia ternyata sudah lama diterapkan di negara-negara maju dunia seperti Jepang, Korea, dan Aussie. Lantas kenapa di Indonesia menjadi permasalahan?

Kisruh PPDB Zonasi, Keinginan Pemerintah Mengubah Mental

Bahkan negara tetangga seperti Malaysia juga sudah menetapkan sistem zonasi tersebut. Permasalahannya di Indonesia, para orang tua sangat menginginkan agar anaknya bersekolah di sekolah favorit, meskipun jarak yang ditempuhnya relatif jauh.

Dengan sistem zonasi, maka meskipun calon siswa memiliki nilai yang relatif bagus namun harus bersaing dengan calon siswa berprestasi lainnya, karena kuota bagi siswa berprestasi hanya sebesar 15 persen.

Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy (linea.id)

Lalu atas dasar apa pemerintah menerapkan sistem zonasi? Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud),  Muhadjir Effendy mengungkapkan jika sistem zonasi diterapkan untuk pembangunan pendidikan pendidikan di Indonesia.

Muhadjir juga menyebut, jika sistem zonasi merupakan juga salah satu cara meminimalisir peluang pungli bangku sekolah siswa. Sehingga dalam praktiknya Kemendikbud sudah menggandeng saber pungli hingga KPK untuk mencegah terjadinya pungli.

Jadi tujuan pemerintah menerakan sistem zonasi dapat diketahui agar meminimalisir praktik kecurangan dalam pungli dan nampaknya ingin memeratakan pendidikan di Indonesia, dengan cara pemerataan penerimaan calon siswa berdasarkan zona mereka.


Lebih lanjut, Muhadjir juga mengingatkan kepada pihak sekolah swasta untuk meningkatkan mutu. Dia ingin sekolah swasta bisa bersaing dengan sekolah negeri agar menjadi pilihan orang tuanya menyekolahkan anaknya.

Aturan beraitan dengan sistem zonasi PPDB 2019 sendiri merujuk pada Peraturan Mendikbud Nomor 51 Tahun 2018, yang mengatur tiga jalur proses PPDB yaitu zonasi dengan kuota minimal 90 persen, prestasi dengan kuota maksimal 5 persen, dan jalur perpindahan domisili orang tua dengan kuota maksimal 5 persen.

Namun pada tahun ini kisruh soal sistem zonasi yang sampai ke telinga presiden membuat adanya revisi yang dilakukan. Merespons permintaan Joko Widodo, Menteri Pendidikan kemudian melakukan evaluasi terkait jumlah kuota siswa berprestasi dari luar zonasi sekolah.

Dengan demikian pada tahun ini sudah ada penambahan kuota setidaknya sebanyak 10 persen dari jumlah kuota siswa berprestasi dari luar zonasi sekolah. Namun mengapa masih saja kisruh?

Selanjutnya penerapan sistem zonasi adalah keinginan dari pemerintah untuk menghapuskan adanya sekolah nomor 1, nomor 2, dan seterusnya. Memang hingga saat ini masih melekat adanya label sekolah favorit dan sekolah non-favorit.

Jika pemerintah ingin mengubah persepsi tersebut, maka mental orang Indonesia terhadap kelas sosial sekolah yang harus diubah. Tentu hal tersebut memerlukan waktu yang tidak dapat dilakukan secara “instan”.

[artikel number=3 tag=”Pendidikan, PPDB, Jokowi”]

Berkaitan dengan sekolah favorit dan non-favorit, akan terkait dengan faktor-faktor pendukung lainnya, seperti prestasi sekolah yang dicapai, hingga sarana dan prasarana sekolah bersangkutan.

Pertanyannya apakah hal tersebut sudah dan akan menjadi pekerjaan rumah pemerintah dalam waktu mendatang? Tentu orang tua murid tidak ingin anaknya bersekolah di sekolah dengan fasilitas yang pas-pasan, terutama dari orang tua murid dari strata atas.

Hal yang perlu dikaji pemerintah, tidak hanya PPDB Zonasi, namun juga kualitas dari guru-guru yang mengajar di Indonesia. Apakah perlu adanya evaluasi dari sistem pengajaran guru? Setidaknya hal tersebut yang paling penting.