Pada suatu zaman, terdapat negeri yang kaya raya akan sumber daya alamnya. Kekayaannya tersiar di seluruh penjuru dunia. Setiap tamu yang berkunjung ke negeri itu selalu berdecak kagum karena negeri dan penduduknya terlihat kecukupan dan bahagia.
Sayangnya, kenyataan tak selalu sama dengan kelihatannya. Penduduk negeri itu justru terpuruk karena himpitan ekonomi akibat sistem kapitalis yang diterapkannya. Sistem itu bahkan mengikis sedikit demi sedikit kehidupan warganya. Di sisi lain, penguasa di negeri itu terus berjalan di atas penderitaan warga, sehingga para pemimpinlah yang menikmati kekayaan negeri kaya itu.
Negeri dongeng yang diceritakan secara kebetulan memiliki kesamaan dengan kondisi Indonesia saat ini. Gara-gara sistem pemerintahan kapitalis yang diterapkan, segala hal ditentukan dari bentuk dan besaran modal.
Tidak hanya dari segi ekonomi, kekuasaan juga dipandang dari sisi untung-rugi si pemegang modal terbesar. Jika ingin bertahan hidup, rakyat harus berjuang sendiri. Tak ada pengurusan umat dalam sistemnya.
Baca Juga : Contoh undang-undang Putusan MA
Salah satu contoh kasusnya bisa dilihat dalam hal kesehatan. Bukan rahasia lagi bahwa pelayanan kesehatan seharusnya jadi kebutuhan pokok bagi rakyat dan harus ditanggung oleh negara. Karena indikator makmur atau tidaknya suatu negara dilihat dari kesehatan penduduk negara tersebut. Dengan begitu, produktivitas dan aktivitas masyarakat meningkat, kewajiban individu terhadap masyarakat dan negaranya juga meningkat.
Layanan kesehatan BPJS hari ini seharusnya jadi tumpuan kesehatan rakyat yang fasilitasnya diberikan pemerintah. Namun, BPJS Kesehatan memiliki berbagai keterbatasan layanan.
Hal ini dikarenakan karena adanya premi yang cukup bervariasi. Ada pula persaingan harga premi dan fasilitas kesehatan yang disesuaikan dengan kemampuan rakyat dalam membayarnya. Jaminan kesehatan rakyat di tengah sistem kapitalis ini menjadikan situasi semakin miris.
Kebijakan yang menyatakan adanya kenaikan iuran BPJS naik hingga 100 persen yang terjadi belum lama juga membuat masyarakat kecewa. Berbagai elemen masyarakat menolak kenaikan itu.
Dengan berbagai pertimbangan dan persidangan administrasi negara, Mahkamah Agung (MA) akhirnya berpihak pada masyarakat. Berdasarkan putusan MA, kenaikan iuran BPJS yang diusulkan pemerintah tidak boleh dilakukan. Hingga saat ini masyarakat masih menunggu pelaksanaan putusan MA yang berupa penurunan iuran premi BPJS.
Baca Juga : Putusan MA Tjandra Limanjaya Bebas
Lebih dari sebulan waktu berjalan, namun tarif iuran BPJS Kesehatan tak kunjung turun. Tagihan masih mengusung angka yang sama setelah dinaikkan, yakni Rp160 ribu untuk kelas I, Rp110 ribu untuk kelas II, dan Rp42ribu untuk kelas III. Angka tersebut memang telah disesuaikan dengan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres 75/2019.
Belum ada kepastian kapan penurunan iuran BPJS Kesehatan dilakukan. Padahal sebelumnya, iuran mencakup Rp80 ribu untuk kelas I, Rp55 ribu untuk kelas II, dan Rp25.500 untuk kelas III.
Pihak BPJS sendiri tak mengelak fakta iuran yang belum turun. Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan pihaknya belum menyesuaikan tarif BPJS yang baru karena belum ada Perpres baru pengganti Perpres 75/2019.
BPJS Kesehatan sendiri menyatakan telah siap menjalankan putusan MA. Padahal, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 mengatakan harus ada aturan baru maksimal 90 hari terhitung setelah salinan keputusan diumumkan resmi. BPJS Kesehatan sendiri mengaku telah bersurat kepada pemerintah khususnya sekretaris negara terkait hal ini. (Tirto, 6/4/2020). Bagi rakyat, situasi tarik ulur semacam ini jadi tanda bahwa pemerintah tak memiliki koordinasi yang baik antar lembaga pengurus rakyat. Jika seperti ini, rakyat harus menaruh kepercayaan kepada siapa? Bagaimana pula nasib rakyat yang saat ini meratap karena ekonomi yang sulit di masa pandemi?